Batas Penerapan Kaidah Ma La Yudraku Kulluh.... Dalam Ibadah Mahdhah

oleh: Wawan Sofwan *)
Pada dasarnya lahirnya kaidah malaa yudraku kulluh laa yutraku kulluh adalah karena beberapa ketentuan hukum wajib di dalam Islam khususnya dalam ibadah mahdhah tidak kaku. Didapatkan perubahan hukum haram menjadi boleh dalam keadaan darurat. Didapatkan pula disebabkan adanya uzur tertentu atau masyaqqah (kesulitan) lahirnya rukhshah (keringanan), atau bahkan hukum takhyir (dapat memilih) untuk menjadi lebih ringan dalam pelaksanaannya.

Pada umumnya uzur berupa darurah (kemadaratan) berkaitan dengan hukum haram, sedangkan uzur masyaqqah berkaitan dengan pelaksanaan hukum yang wajib. Sementara takhyir ada yang berkaitan dengan wajib dan sunat.
Dalam kaitan dengan permasalahan tersebut dikenal kaidah-kaidah fiqhiyyah sebagai berikut:
Keadaan darurat itu membolehkan hal-hal yang dilarang
Segala mudharat harus dihindarkan sedapat mungkin
Tidak ada haram bersama darurat dan tidak ada makruh bersama kebutuhan.
Menghilangkan kemadaratan tidak boleh dilakukan dengan cara yang mendatangkan madarat (lainnya)
Dan dalam kaidah Fiqhiyah dikenal pula ketetapan yang berbunyi :
Asal pada manfaat-manfaat itu boleh
Asal pada yang memadaratkan itu haram

Rukhshah (keringanan) adalah aturan hukum yang dapat di terapkan ketika ada masyaqqah (kesulitan). Umpamanya :
Dalam Salat
Salat sambil duduk atau berbaring bagi yang tidak berkemampuan.
Jalsatul istirahah dan menekankan tangan kebumi ketika akan bangkit dari sujud untuk berdiri bagi yang uzur, baik karena berat badan atau suatu keluhan penyakit
Salat wajib di atas kendaraan bila sama sekali tidak dapat turun dari kendaraan itu

Tanpa Masyaqqah (Hanya pilihan)
Umpamanya :
Pada salat sunat Rasulullah saw. Membolehkan / membenarkan salat sunat di atas kendaraan tanpa harus memperhatikan arah kiblat.
Salat sunat dapat dilaksanakan sambil duduk dengan setengah pahalanya.

Wudhu
Bagi yang sakit atau bebergian dapat melaksanakan tayamum

Saum
Saum Ramadan Bagi yang sakit atau karena safar dapat melaksanakan pada hari lain di luar bulan Ramadan

Haji

  • Tidak mabit di Mina baik pada tanggal delapan malam tanggal sembilan atau ayyamt tasyarik
  • Tidak jumrah Aqobah pada tanggal sepuluh
  • Menjama’ Jumrah pada ayymut tasyrik
  • Tahallul sebelum waktu dengan menyembelih hadyu
  • Tidak hadyu diganti dengan saum pada musim haji
  • Memilih antara melaksanakan nafar awal dan nafar akhir
  • Dan lain-lain


Zakat
a. Ketetuan Zakat 21/2 % Di laksanakan kurang dari prosentase itu
Adanya rukhshah (keringanan) identik atau bersamaan adanya dengan adanya masyaqqah (kesulitan). Maka suatu kewajiban karena masyaqqah lalu tidak dapat dilaksanakan sebabgaimana mestinya berlakulah rukhshah. Mengenai hal ini Rasulullah saw. bersabda :
Dari Abu Hurairah, ia berkata,”Rasulullah saw. berkhutbah kepada kami lalu beliau bersabda, “Hati-hatilah kalian terhadapku apa yang aku tinggalkan, karena kaum sebelum kalian binasa disebabkan terlalu banyak pertanyaan dan menyalahinya mereka atas nabi-nabi mereka. Apabila Aku memerintahkan sesuatu, laksanakanlah sesuai kemampuan, dan apabila Aku melarang kamu dari sesuatu, tinggalkanlah.” H.r. Muslim,VII  : 95 no.6276

Dengan dalil ini jelas sekali, umat Islam ketika diperintah wajib melaksanakan dengan sebaik-baiknya sesuai dengan kemampuan. Terdapat sabda Rasulullah saw. yang senada mengenai shalat,
Dari Imran bin Hushain r.a, ia berkata, “Saya punya penyakit bawasir, maka saya bertanya kepada Nabi saw. mengenai shalat. Beliau bersabda,’Shalatlah engkau sambil berdiri, bila tidak mampu, shalatlah sambil duduk, dan bila tidak mampu, shalatlah sambl duduk.” H.r. Al-Bukhari, II : 561.

Demikian pula kewajiban shaum, bagi yang sakit atau safar Alquran memerintahkan agar mengerjakan shaum itu pada hari-hari lainnya.
Maka gantilah (shaum dengan shaum) pada hari-hari lainnya (di luar bulan Ramadan sebanyak hari yang tidak shaum…Q.s. 2/Albaqarah : 185.

Maka berdasarkan dalil-dalil dari ayat Alquran dan hadits-hadits Rasululllah saw. ini jelaslah bahwa suatu kewajiban yang tidak dapat dilaksanakan secara penuh, tidak dapat diganti dengan ibadah lainnya, walaupun sama-sama mahdhah, kecuali dengan dalilnya yang khusus.

Laba Kurang dari 2 ½ % pada Masa Khalifah Umar r.a
Pada suatu ketika para pedagang datang mengadu kepada Umar bin Al-Khathab tentang laba tijarah yang semakin menipis, bahkan sudah sangat merepotkan mereka dilihat dari keberlanjutan usaha perdagangan mereka bila tetap harus mengeluarkan 2 ½ prosen. Mengenai hal itu Umar bin Al-Khathab menjalankan rukhshah yang diberikan oleh Rasulullah saw. tersebut, beliau menggunakan ketetapan,
Berkata Abdurrahman bin Abdulqari, Aku melaksanakan tugas Baitul Maal pada masa khalifah Umar bin Khatab, maka apabila keluar pemberian, beliau kumpulkan segala harta pedagang, kemudian menghitung dari harta mereka yang jauh dan yang dekat. H.r. Ibnu Hazm/Al-Muhalla, juz 5 : 235

Hadits ini menunjukkan ketetapan asal dari zakat tijarah, yakni setiap pedagang muslim, wajib mengeluarkan zakat tijarah 2 ½ porsen. Selanjutnya pelaksanaan rukhshah (keringanan) bagi yang tidak dapat melaksanakan kewajiban itu sebagaimana mestinya :
Berkata Abu Wahalah, “Bahwa beberapa petuga zakat Umar, melapor kepada beliau, ‘Wahai amirul mukminin! Bahwa Ada beberapa pedagang yang mengeluhkan rasa keberatannya penaksiran nilai dari prosentase zakatnya dari harga barang’ Kata Umar, ‘Ah-ah- jika demikian ringankanlah mereka.’” H.r. Ibnu Hazm,V : 235.

Tidak akan ada rukhshah selain dari yang berhukum wajib atau Azimah. 2 ½ % zakat tijarah itu Azimah. Dengan demikian, Umar bin Al-Khathab tidak sulit untuk menunjukkan sikapnya, sekaligus keputusannya ketika pada masanya terjadi usaha-usaha yang labanya kurang dari 2 ½ prosen. Hal ini karena sudah ada pedoman dari Rasulullah saw. , yaitu laksanakan ‘azimah (hukum asal) jika tidak mampu, ambillah rukhshah-nya.

Mengenai tempat mabit di Mina didapatkan keterangan sebagai berikut:
Telah berfatwa Syaekh Muhamad bin Sholih Al-Atsimaeni dan Syaekh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, 'Apabila mereka tidak mendapatkan tempat di Mina, mereka bisa tinggal di kemah akhir dari kemah-kemah haji sekalipun di luar batas Mina. Maka jika tidak mendapatkan tempat, maka gugurlah kewajiban mabitnya dan tidak perlu membayar dam.

Setelah memperhatikan kondisi Mina yang sempit, sedangkan jamaah haji semakin bertambah, perluasan dan pengembangan Mina menjadi wewenang Ulil Amri Pemerintah Arab Saudi, karena jamaah haji tidak bisa memilik tempat yang sesuai dengan yang diinginkan; karena jamaah haji untuk menempati tempat di Mina sesuai qur'ah Maktab yang telah disepakati antara Pemerintah Arab Saudi dengan Negara-negara asal jamaah haji.

Sehubungan dengan hal tersebut penempatan jamaah haji di Mina pada tanggal 8-13 Dzulhijjah hajinya sah sesuai dengan Firman Allah:
Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur. Q.s. Al-Baqarah : 185.

Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu. Q.s. At-Taghabun : 16.
Dan Dia (Allah) tidaklah sekali-kali membuat di dalam agama ini suatu kesulitan yang memberatkan kamu. Q.s Al-hajj : 78.

Dan Nabi saw. bersabda:
Mudahkanlah dan janganlah menyulitkan

Demikian pula karena Abbas dan penjaga ternak tidak mabit di Mina karena udzur ada keperluan, Nabi saw. mengizinkan tidak mabit (bermalam) di Mina, diberikan rukhshah, hajinya sah.

Untuk menenangkan dan menentramkan jamaah haji yang ditempatkan di Mina Jadid dalam melaksanakan mabitnya, Pemerintah Arab Saudi supaya menghindarkan madharat tidak melestarikannya, sesuai dengan qaidah Fiqih:
Menghindari madarat atau bahaya harus didahulukan atas mencari maslahat atau kebaikan. Wallohu a'lam.

*) Penulis adalah Sekretaris Dewan Hisbah PP PERSIS
Share on Google Plus

About ADMIN QUBA

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.