Menjaga Hati dari Penyakit Hati

oleh: Ikhwan Luthfi Anshorulloh *)

MANUSIA dalam kehidupannya ditentukan oleh kualitas hatinya masing-masing. Ada sebuah contoh untuk menjelaskan hal ini. Diceritakan ada dua orang yang sedang berbaring sakit. Seorang yang sakit itu selalu mengeluh setiap waktu, baginya hidup yang dijalani itu penuh dengan penderitaan tak ada syukur dalam diri orang ini. Namun, di tengah keluhan temannya seseorang di kamar lainnya, tengah bersyukur dengan mengucapkan kalimat zikir. Ketika ditengok, ternyata orang tersebut tidak memiliki kaki dan tangan.

Dari kisah ini kita dapat belajar bahwa jati diri manusia itu sebenarnya berada pada kualitas hatinya. Hati orang yang bersih, tercermin dari bersihnya jasad. Bagaimana pun juga, di dalam tubuh setiap manusia, terdapat segumpalan daging yang bernama hati. Bersih atau kotornya hati, menentukan sifat manusia yang memilikinya. "Ketahuilah, bahwa di dalam tubuh ini terdapat se-gumpal darah. Apabila segumpal darah itu baik, maka baik pula seluruh anggota tubuhnya. Dan apabila segumpal darah itu buruk, maka buruk pula seluruh anggota tubuhnya. Segumpal darah yang aku maksudkan adalah hati." (H.R Al-Bukhari)

Pada diri orang yang tidak bersyukur di dalam hatinya ada penyakit. Sebagaimana tubuh, hati juga dapat menjadi sakit. Namun sayangnya, orang yang mengidap penyakit hati sering kali tidak sadar bahwa dirinya telah terkena penyakit-penyakit hati. Padahal penyakit hati ini bisa jadi justru memiliki pengaruh yang lebih destruktif dibandingkan penyakit fisik. Dan orang yang mengidap penyakit hati tidak akan pernah menggapai kebahagiaan yang hakiki. Dengan demikian, seperti halnya tubuh yang sakit membutuhkan obat, begitu pula hati yang sakit.

Seringkali penyakit hati bertambah parah, namun pemiliknya tak juga menyadari. Karena ia tak sempat bahkan enggan mengetahui, cara penyembuhan dan sebab-sebab penyakitnya. Bahkan terkadang hatinya sudah mati, pemiliknya belum juga sadar kalau sudah mati. Sebagai buktinya, ia sama sekali tidak merasa sakit akibat luka-luka dari berbagai perbuatan buruk. Ia juga tak merasa disusahkan dengan ketidak mengertian dirinya terhadap kebenaran, dan keyakinannya yang batil. Padahal hati merupakan tempat pandangan Allah. Hati diibaratkan sebagai pakaian yang kita gunakan. Kita akan selalu membersihkan pakaian yang kita gunakan lantaran akan dilihat oleh orang lain. Bagaimana pun juga, orang akan menilai kita dari pakaian yang kita gunakan. Begitu pun dengan hati. Allah akan melihat siapa kita melalui hati.

Dalam hadits riwayat Ahmad dan Ibnu Abu Syaibah, Aisya berkata. "Nabi saw sering berdoa dengan mengatakan. Wahai Tuhan yang membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku untuk selalu taat ke-pada-Mu. Aku pernah berta-anya, "Ya Rasulullah, kenapa Anda sering berdoa dengan menggunakan doa seperti itu? Apakah Anda sedang merasa ketakutan? Beliau menjawab. Tidak ada yang membuatku merasa aman, hai Aisyah- Hati seluruh hamba ini berada di antara dua jari Allah Yang Maha Memaksa. Jika mau membalikkan hati seorang hamba-Nya, Allah tinggal membalik-kannya begitu saja." Dari ayat dan hadis di atas, jelas sekali bahwa hati seorang hamba ada pada kekuasaan Allah.

Ketika kita diperintahkan untuk menjaga hati, maka kita tidak boleh mengotori hati. Kotornya hati adalah karena maksiat. Maksiat yang kita lakukan seperti noda yang menutupi hati kita. "Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutupi hati mereka." (QS.A1-Muthofifin 83) Hati yang tertutup noda maksiat ini akan menjadi hati yang sakit, bahkan berpeluang menjadi hati yang mati. Kendali manusia terhadap hatinya disebabkan oleh perbuatan yang ia lakukan. Manusia tidak bisa secara langsung membersihkan hatinya, melainkan ia terlebih dahulu harus melakukan taubat dan ketaatan yang menyempurnakan taubatnya.

Terbolak-baliknya hati manusia ada korelasinya dengan amal yang ia upayakan. Keimanan itu bertambah dan berkurang. Bertambah karena ketaatan, berkurang karena kemaksiatan. Iman yang tu-run/berkurang berimplikasi pada keadaan jenuh seseorang. Kejenuhan itu bisa berawal dari kemaksiatan yang ia lakukan. Dan keadaan semangat seseorang terjadi mana kala imannya sedang naik atau bertambah. Hal itu karena ketaatan yang diperbuat.

Untuk itu, senantiasalah menjaga hati agar selalu bersih seperti kita menjaga pakaian kita agar selalu indah dipandang orang lain. Caranya : Pertama adalah dengan membersihkan hati dari syirik. Hal ini bisa dilakukan dengan menguatkan ketauhidan. Siapa mengenal Allah, maka la akan cinta kepada Allah. Barang siapa lebih mencintai sesuatu dari pada Allah maka hatinya sedang sakit. Kedua adalah membersihkan hati dari kesombongan. Hal ini bisa dilakukan dengan mencoba bersikap rendah hati dan tidak melihat dirinya lebih baik dari orang lain. Dikisahkan Umar bin Khatab berkata. "Semoga Allah mencurahkan rahmatNya kepada orang yang menunjukkan kekurangan -kekurangan diriku." Ia bertanya kepada Salman al-Farisi mengenai kekurangan dirinya. Ketika Salman datang kepadanya Umar bertanya." Perihal apa yang kamu dengar tentang diriku yang tidak kamu sukai?" Salman tidak bersedia mengatakannya, tetapi setelah dipaksa ia berkata, "Aku mendengar bahwa engkau menumpuk dua lauk dalam satu hidangan dan engkau menumpuk dua lauk dalam satu hidangan dan engkau memiliki dua pakaian, pakaian siang dan pakaian malam. Umar bertanya lagi. "Apakah engkau mendengar selain itu?" Salman menjawab, "tidak" Umar berkata, "Kedua hal tersebut akan aku tinggalkan." Ketiga, yakni dengan membersihkan hati dari iri dan dengki. Dengan terbebasnya dari pernyakit ini maka hati kita menjadi bersih. Dengan demikian, hati seorang muk-min senantiasa suci dari ber-bagai penyakit hati yang bisa menjauhkannya dari Allah.

*) Penulis adalah staf departemen Kaderisasi Hima Persis Cianjur periode 2013-2014
Share on Google Plus

About Rasyid El-Rasya

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.