Hukum mengucapkan selamat natal dan merayakan tahun baru.

oleh: M. Rasyid Ridlo *)
Beberapa hari yang lalu, tepatnya tanggal 25 Desember adalah hari yang dipercaya oleh kaum kristiani di seluruh dunia sebagai hari kelahiran Yesus Kristus yang disebut dengan hari Natal. Dalam teologi Kristen, Natal diyakini sebagai misi menyelamatkan umat manusia dari jeratan dosa. Umat Kristen percaya, dosalah yang menyebabkan manusia jatuh dalam kubangan penderitaan.

Namun kenyataannya, hari besar tersebut memiliki keganjilan dalam sejarah dan asal-usulnya. Kitab Perjanjian Baru tidak memberikan informasi tanggal kelahiran Yesus sehingga pemunculan tanggal 25 Desember menimbulkan berbagai kontroversi diantara kalangan Kristen sendiri (World Book Encyclopedia, Volume 3. Field Enterprises Educational Corporation, Chicago, 1966, pp. 408-417). Bahkan nuansa natal di negeri yang mayoritas muslim ini sangat terasa kemeriahannya. Mall-mall dan pusat perbelanjaan selalu menggelar event-event bertemakan natal. Program-program di televisi pun bertemakan natal.

Lalu, perlukah kita turut serta dalam perayaan natal tersebut walaupun hanya dengan mengucapkan “selamat Natal”?

Sebagai seorang Muslim, tentu saja kita harus merujuk pada Al Qur'an dan As Sunnah, juga pada ulama yang mumpuni, yang memahami dan mendalami agama Islam. Namun masih banyak dikalangan Muslim merujuk pada perkataan orientalis barat yang ingin menghancurkan agama ini. Dalam hadits diterangkan sebagai berikut:
Janganlah kalian mendahului Yahudi dan Nashara dalam salam (ucapan selamat).” (HR. Muslim no. 2167)

Ibnu Taimiyah, Ibnul Qoyyim dan para pengikutnya seperti Syeikh Ibn Baaz, Syeikh Ibnu Utsaimin—semoga Allah merahmati mereka—serta yang lainnya seperti Syeikh Ibrahim bin Muhammad al Huqoil berpendapat bahwa mengucapkan selamat Hari Natal hukumnya adalah haram karena perayaan ini adalah bagian dari syiar-syiar agama mereka. (Ibnu Taimiah, Iqtidha' Shirati'l Mustaqim, Mukhalafatu Ashabi'l Jahim, Dar el-Manar, Kairo, cet I, 2003, hal 200). Allah tidak meredhoi adanya kekufuran terhadap hamba-hamba-Nya. Sesungguhnya didalam pengucapan selamat kepada mereka adalah tasyabbuh (menyerupai) dengan mereka dan ini diharamkan. Diantaranya:
1. Ikut serta didalam hari raya tersebut.
2. Mentransfer perayaan-perayaan mereka ke negeri-negeri islam.

Mereka juga berpendapat wajib menjauhi berbagai perayaan orang-orang kafir, menjauhi dari sikap menyerupai perbuatan-perbuatan mereka, menjauhi berbagai sarana yang digunakan untuk menghadiri perayaan tersebut, tidak menolong seorang muslim didalam menyerupai perayaan hari raya mereka, tidak mengucapkan selamat atas hari raya mereka serta menjauhi penggunaan berbagai nama dan istilah khusus didalam ibadah mereka.

Adapun MUI (Majelis Ulama Indonesia) pada tahun 1981 mengeluarkan fatwanya berisi:
•    Perayaan Natal di Indonesia meskipun tujuannya merayakan dan menghormati Nabi Isa as.
•    Mengikuti upacara Natal bersama bagi ummat Islam hukumnya haram.
•    Agar ummat Islam tidak terjerumus kepada syubhat dan larangan Allah Subhanahu Wata'ala dianjurkan untuk tidak mengikuti kegiatan-kegiatan perayaan Natal.
•    Mengucapkan Selamat Hari Natal Haram kecuali Darurat.

Diantara kondisi terpaksa misalnya; jika seorang pegawai muslim tidak mengucapkan Selamat Hari Natal kepada atasannya maka ia akan dipecat, dan dikurangi hak-haknya. Atau seorang muslim yang tinggal di suatu daerah atau negara mayoritas kafir apabila tidak memberikan Selamat Hari Natal kepada para tetangga Nasrani di sekitarnya akan mendapatkan tekanan sosial dan lain sebagainya.

Sebagaimana dalam Firman-Nya:
Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah Dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir Padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, Maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar”. (QS. An-Nahl: 106)

Tahun baru, haruskah dirayakan (juga)?
Setiap kita melihat perayaan natal, maka kita akan melihat momen tahun baru. Momen ini memang berbeda dengan natal yang tertulis dan identik dengan Kristen. Namun bukan berarti perayaan tahun baru ini “menjauh” dari perilaku kaum kafir.

Tahun Baru pertama kali dirayakan pada tanggal 1 Januari 45 SM, tidak lama setelah Julius Caesar dinobatkan sebagai kaisar Roma, dan ia memutuskan untuk mengganti penanggalan tradisional Romawi yang telah diciptakan sejak abad ketujuh SM.

Rosulullah SAW pernah bersabda:
Orang-orang Jahiliyah dahulu memiliki dua hari (hari Nairuz dan Mihrojan) di setiap tahun yang mereka senang-senang ketika itu. Ketika Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tiba di Madinah, beliau mengatakan, 'Dulu kalian memiliki dua hari untuk senang-senang di dalamnya. Sekarang Allah telah menggantikan bagi kalian dua hari yang lebih baik yaitu hari Idul Fithri dan Idul Adha.” (HR. An-Nasa'i no. 1556. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.)

Namun setelah itu muncul berbagai perayaan ('ied) di tengah kaum muslimin. Ada perayaan yang dimaksudkan untuk ibadah atau sekedar meniru-niru orang kafir. Di antara perayaan yang dimaksudkan di sini adalah perayaan tahun baru Masehi. Perayaan semacam ini berarti di luar perayaan yang Rosulullah maksudkan sebagai perayaan yang lebih baik yang Allah ganti. Karena perayaan kaum muslimin hanyalah dua yang dikatakan baik yaitu Idul Fithri dan Idul Adha.

Perlu digaris bawahi disini, istilah “lebih baik” tidak berarti yang diharamkan tersebut menjadi “baik” dan bisa dilaksanakan. Dikarenakan konteks hadits tersebut ketika sahabat baru masuk Islam dan Rosul memberitakan bahwa perayaan dalam Islam itu terbatas pada dua waktu saja, Idul Fithri dan Idul Adha.

Perayaan Malam Tahun Baru Penuh Maksiat
Bukan menjadi hal yang asing lagi, bahwa “malam tahun baru” selalu menjadi ajang maksiat berjamaah. Banyak kita saksikan mereka begadang semalam suntuk untuk menunggu detik-detik pergantian tahun, bahkan hingga pagi hari. Kebanyakan orang yang begadang ini luput dari shalat Shubuh karena kelelahan. Akhirnya, mereka tidur hingga pertengahan siang dan berlalulah kewajiban tadi tanpa ditunaikan sama sekali.

Tidak hanya meninggalkan shalat, jika kita lihat tingkah laku muda-mudi saat ini, perayaan tahun baru tidaklah lepas dari ikhtilath (campur baur antara pria dan wanita) dan berkholwat (berdua-duan), bahkan mungkin lebih parah dari itu yaitu sampai terjerumus dalam zina. Inilah realita yang sering terjadi di malam tersebut dengan menerjang berbagai larangan Allah dalam bergaul dengan lawan jenis.

Kebiasaan merayakan tahun baru juga tidak bisa dilepaskan dari nuansa mercon, petasan, terompet atau suara bising lainnya. Ketahuilah ini semua adalah suatu kemungkaran karena mengganggu muslim lainnya. Mereka takkan pernah tahu, apabila dilingkungan sekitarnya terdapat seorang yang butuh ketenangan untuk istirahat dikarenakan lelahnya bekerja seharian atau bahkan terhadap orang yang sedang sakit.

Selain diatas tadi, sikap boros menjadi hal lumrah. Perayaan tahun baru dijadikan momentum pemborosan massal hanya satu malam.  Orang-orang menyiapkan anggaran istimewa demi menjalani tahun baru yang dinanti-nantikan. Padahal sikap boros ini jelas sebagai ciri syetan seperti dalam surat al-Isro ayat 26-27.

Kalau begitu, saya/kami akan merayakan tahun baru dengan kegiatan keislaman agar maslahat.
Kita sudah ketahui bahwa perayaan tahun baru ini berasal dari orang kafir dan merupakan tradisi mereka. Namun sayangnya di antara orang-orang jahil ada yang mensyari’atkan amalan-amalan tertentu pada malam pergantian tahun. “Daripada waktu kaum muslimin sia-sia, mending malam tahun baru kita isi dengan dzikir berjama’ah di masjid. Itu tentu lebih manfaat daripada menunggu pergantian tahun tanpa ada manfaatnya”, demikian ungkapan sebagian orang. Ini sungguh aneh. Pensyariatan semacam ini berarti melakukan suatu amalan yang tanpa tuntunan. Perayaan tahun baru sendiri adalah bukan perayaan atau ritual kaum muslimin, lantas kenapa harus disyari’atkan amalan tertentu ketika itu?

Pernah suatu ketika, Ibnu Mas’ud melihat orang-orang yang berdzikir, namun tidak sesuai tuntunan Nabi SAW. Orang yang melakukan dzikir yang tidak ada tuntunannya ini berkata pada Ibnu Mas’ud. “Demi Allah, wahai Abu ‘Abdurrahman (Ibnu Mas’ud), kami tidaklah menginginkan selain kebaikan.” Ibnu Mas’ud lantas berkata, “Betapa banyak orang yang menginginkan kebaikan, namun mereka tidak mendapatkannya.” (HR. Ad Darimi.) Dikatakan oleh Husain Salim Asad bahwa sanad hadits ini jayid (bagus). Wallohu a’lam.

Maka dari itu, meninggalkan perbuatan madhorot harus lebih diutamakan ketimbang melakukan perbuatan maslahat. Dan perayaan tahun baru ini sarat dengan kemaksiatan. Wallohu a’lam.

*) Penulis adalah staf departemen Infokom Pimpinan Pusat Hima Persis periode 2013-2015
Share on Google Plus

About Rasyid El-Rasya

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.