Tulisan kali ini akan bercerita mengenai Qurrata-a'yun yang disusun oleh KH. Siddiq Amien, MBA (alm)
Setiap orangtua muslim bisa dipastikan memiliki harapan dan
keinginan anak-anaknya menjadi anak-anak yang shalih, menjadi Qurrata-a'yun,
yakni menjadi kebanggaan. Ini bisa
dibuktikan dari dua ungkapan. Pertama, ungkapan kepada sesama, ketika anak kita
lahir atau dikhitan, kepada keluarga, tetangga, dan sehabat yang hadir atau
menjenguk, yang dimohonkan kepada mereka adalah do'a, agar anak tersebut
menjadi anak yang shalih. Kedua, ungkapan kepada Allah dalam do'a yang memohon
agar keturunannya menjadi "Qurrata-a'yun", menjadi kebanggaan, baik
lahir maupun batin, kebanggaan dunia dan akhirat.
Harapan dan keinginan tersebut tentu dilandasi oleh dua hal.
Pertama, keyakinan akan jaminan Nabi saw yang menyatakan bahwa diantara empat
hal yang akan membawa kebahagiaan seseorang,
jika ia memiliki anak-anak yang shalih. ( HR. Ath-Thabrani). Nabi saw juga
menyatakan bahwa di akhirat nanti akan ada banyak orang tua yang mendapat
tempat sangat istimewa di surga, berkat do'a dan istighfar anak-anaknya yang
shalih (HR. Ahmad ).
Kedua, menyaksikan bahkan mungkin merasakan fakta, banyak
orang tua yang hidupnya begitu tumaninah dan bahagia, karena anak-anaknya
shalih. Dan kita sering pula menyaksikan
banyak orangtua yang sakit berdiri, tidak enak makan dan tidak nyenyak tidur
karena memikirkan prilaku anak-anaknya yang jauh dari keshalihan. Apalagi jika kita memperhatikan bunyi QS.
Al-Ma'arij : 10-14, disana diisyaratkan bahwa anak-anak yang durhaka nanti di
akhirat bukan akan menjadi kebanggaan orangtua atau mengangkat harkat dan
martabat orangtua, tapi malah ia akan memohon kepada Allah swt agar masuk nerakanya
digantian oleh kedua orangtuanya.
Anak shalih secara sederhana bisa didefinisikan sebagai anak
yang beramal shalih. Agar anak kita mau
dan rajin beramal shalih, maka harus ditanamkan " mahabbah " atau
kecintaan kepada amal shalih. Kecintaan akan melahirkan pengurbanan. Anak-anak
kita akan rela mengurbankan waktu, tenaga, harta dan bahkan nyawa sekalipun
untuk beramal shalih, jika mahabbah terhadap amal shalihnya tinggi dan kuat.
Upaya menanamkan mahabbah itu dilakukan dengan cara mengenalkannya sedini
mungkin dan sebaik mungkin terhadap amal shalih itu. Sesuai dengan ungkapan " Tak kenal maka
tak sayang " melalui kegiatan pendidikan. Dalam Islam dikenal prinsip
pendidikan sepanjang hayat (long life education ) Minal Mahdi ilallahdi. Tapi
yang terbaik dilakukan tentu sejak dini, sejak masih anak-anak atau masih muda.
Pepatah menyebutkan: Pendidikan sejak kecil ibarat memahat
di batu, pendidikan sesudah tua ibarat menulis di air. Batutulis di sungai
Ciaruteun Bogor usianya sudah ratusan tahun, tapi masih ada dan masih bisa
dibaca. Belajar setelah tua biasanya susah ingat mudah lupa. Nabi saw. Menjanjikan bahwa jika Allah
bermaksud memberi kebaikan kepada seseorang, maka Allah akan menjadikan orang
itu memahami agamanya dengan baik (HR.Muslim). Pemahaman terhadap agama tentu
tidak akan datang dengan sendirinya, melainkan harus diusahakan.
Target pendidikan di Indonesia dijabarkan dalam Trichotomi
Pendidikan, yakni 3H: Head (kepala atau otak yang cerdas), Heart (Hati yang
beriman dan bertaqwa yang akan melahirkan akhlakul karimah), dan Hand (tangan
yang terampil). Target : Cerdas, taqwa dan terampil, adalah target yang sangat
lideal, tapi target ideal tersebut sayangnya tidak dijabarkan dalam struktur
kurikulum pendidikan nasional yang ideal pula.
Sebagai bukti misalnya mata pelajaran agama yang dialamatkan
kepada Heart (hati) hanya dialokasikan dengan jumlah jam belajar yang sangat
minim. Berbeda kontras dengan alokasi jam belajar bagi mata pelajaran yang
dialamatkan ke otak. Padahal spektrum
atau cakupan ajaran agama itu sangat luas. Bagaimana mungkin anak-anak bisa
mengenal ajaran agamanya dengan baik? Ditambah lagi belum pernah ada political
will dari pemerintah untuk memasukkan mata pelajaran agama termasuk yang di
-UN-kan, agar perhatian murid dan guru terhadap pelajaran agama menjadi kuat.
Sementara itu di dalam keluarga banyak orangtua yang merasa cukup memberikan
pelajaran agama kepada anak-anaknya dengan apa yang mereka dapatkan di sekolah
saja. Tidak ada upaya lainnya. Oleh sebab itu kita tidak heran jika banyak
output lembaga-lembaga pendidikan di Indonesia yang baru bisa melahirkan
lulusan yang cerdas otaknya, sehat fisiknya, terampil tangannya, tapi
menyedihkan akhlaknya.
Setelah selesai mengikuti Ujian Nasional, banyak orangtua
yang bimbang dalam menentukan pilihan, lembaga pendidikan mana yang akan
dipilih untuk menjadi tempat bagi anak-anaknya melanjutkan pendidikannya. Agar
kelak anak itu menjadi Qurrata-a'yun. Nabi saw dalam haditsnya riwayat Abu
Nuaim sudah mengingatkan agar kita tidak duduk belajar pada semua orang alim,
kecuali orang alim yang menuntun kita dari lima perkara kepada lima perkara:
dari keragu-raguan kepada keyakinan, dari riya kepada ikhlas, dari sombong
kepada rendah hati, dari serakah kepada zuhud, dan dari permusuhan kepada
kejujuran. Jika hadits tersebut kita nisbahkan kepada lembaga pendidikan, maka
Nabi saw menganjurkan agar dalam memilih lembaga pendidikan bagi anak-anak
kita, kita tidak hanya melihat fasilitas, sarana dan prasarana pendidikannya,
melainkan terutama out-putnya, apakah
para alumninya disamping cerdas dan terampil, juga memiliki keyakinan
agama yang kuat.
Tidak mengambang dengan menganggap semua agama benar. Ikhlas
dalam beramal. Rendah hati, sebab sering kita menyaksikan banyak orang yang
semakin tinggi pendidikannya, banyak gelarnya, bukan semakin tawadlu alias
rendah hati, melainkan semakin kibir alias besar kepala. Zuhud, hidupnya tidak diperbudak oleh harta
dunia, dan Jujur.
Dua hal lain yang juga penting, yakni keteladanan atau
uswatun hasanah dari para orangtua, guru, tokoh masyarakat dan pejabat publik
serta millieu atau lingkungan dan pergaulan juga menjadi variable penting dalam
mewujudkan harapan dan keingingan punya keturunan yang menjadi Qurrata-a'yun. Wallahu a'lam.
*) Penulis adalah ketua umum PP Persis periode 1998-2009